Suatu hari, diri ini menyadari bahwa apa-apa yang diterima saat masih anak-anak, semua tidak seindah saat sudah memasuki usia dewasa. Menerima perubahan dalam pikiran diri sendiri itu tidak mudah. Tapi bisa, bisa dibawa menjadi hal yang biasa. Hanya perlu proses dan terus belajar untuk memahami diri.
Ketika saya mulai memahami diri sendiri,
Maka:
1. Saya mulai memahami bahwa diri kita bisa menjadi semesta, dimana ada berbagai elemen yang menyusunnya sehingga untuk 'hidup' diri ini tunggal tapi bersama elemen lain yang melengkapi.
2. Saya bisa menempatkan diri lebih stabil di tengah semesta yang lain, seperti keluarga.
Keluarga itu tidak tercipta dgn unsur yang homogen, tapi heterogen. Arti gampangnya, bermacam-macam.
Macam sifat, macam bentuk fisik, macam kondisi sosial-budaya (ketika keluarga inti sudah berkeluarga).
Dalam heterogen semesta bernama keluarga, diri ini yakin hanya mewakili salah satu atau beberapa yang dominan. Pun sama dengan anggota keluarga lain, seharusnya. Maka dari itu, jika mau semesta ini baik, maka yang diperlukan bukan sama-sama menjalani hidup dengan cara yang sama. Tapi dengan masing-masing cara, cara yang diberikan Tuhan khusus untuk masing-masing individunya. Orangtua, kakak, adik, masing-masing mempunyai cara yang mestinya tidak sama.
Jika semesta bernama keluarga sudah bisa diterima dengan tulus ikhlas, maka memahami semesta yang lebih besar bukan hal yang sulit dan aneh.
3. Semesta bernama negri tempat diri ini lahir dan menjalani kehidupan.
Meskipun tampaknya lebih beragam lagi elemen penyusunnya. Tapi, dengan konsep diri dan semesta bernama keluarga, maka semuanya menjadi lebih sederhana dan masuk akal.
Jika ditautkan dalam semesta bernama keluarga, maka elemen negri ini bisa dianalogikan sebagai ayah, ibu, anak 1, anak 2, anak ke-dst... Semua memiliki karakter berbeda-beda. Negri ini memiliki banyak propinsi, banyak kabupaten, atau banyak ormas, masing-masing tentu membawa karakter sendiri.
Contoh kasus KKB dan Papua, dimana menjadi duri dalam negeri. Bisa disederhanakan, ibarat seorang anak yang merasa memiliki kondisi kurang dari saudaranya yang lain, tidak bisa/mengerti mengungkapkan dengan cara yg baik apa kebutuhannya, bagaimana kekurangannya bukan sebagai alasan utama hidupnya menjadi tidak baik. Pihak yg berkuasa (ibarat orangtua) tetap selalu mengupayakan cara untuk mengatasi dengan berbagai pertimbangan. Belum selesai hingga kini, mempunyai hikmah bahwa kehidupan ya seperti itu, tidak semua berjalan baik, tapi jika masih diberikan hidup oleh Tuhan, maka yang dilakukan adalah tetap berjuang, melakukan apa-apa yang menjadi misi masing-masing individu saat ini.
Raga kita tentulah tidak seluas semesta, tapi jiwa kita bisa membuat semesta masuk ke dalam genggaman kita. Temu-dapatkan diri kita yang telah diskenariokan-Nya. Fitrah lahir. Dan laksanakan pesan-pesan khusus yang Tuhan sampaikan khusus untuk kita, untuk menjadi manfaat, membawa kebahagiaan untuk diri dunia dan akhirat kelak. Klise, tapi mungkin memang sesederhana itu hakikatnya tujuan manusia dihidupkan.
Wallahua'lam.
Tabik,
Salam Bintu Tsaniyah