Cara Mudah Lewati Pandemi
Nia Ramadhani mengatakan, “Sejak kecil saya diajarkan oleh ayah saya untuk tidak selalu ‘melihat keatas’, tetapi ‘melihat apa yang ada dibawah’ kita. Karena jika selalu melihat yang lebih dari kita, sampai kapanpun tidak akan pernah menemukan kepuasan. Sementara, jika sebaliknya, yang ada kita akan mudah bersyukur dan bahagia.”
Resep Simpel Sate Taichan, Pasti Mantul!
Di
masa pandemi seperti sekarang ini, ayam mungkin menjadi salah satu sumber
protein hewani yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Tentu saja setelah
telur. Malah ada fenomena di beberapa daerah harga ayam menurun drastis. Meski
ini bukan hal yang baik untuk peternak ayam, tapi bagi masyarakat ini semacam
keberuntungan ya. Ya, apapun bersyukurlah saja, tentunya para peternak ayam,
jika ikhlas InsyaAllah suatu saat rezeki akan diganti.
Kembali
ke soal ayam. Seringnya membeli ayam tentunya bisa bikin bosan ya (dalam hati
bersyukur bisa membeli ayam). Apalagi kalau bosan itu terdengar dari celotehan
si kecil. Emak bisa pusing tujuh keliling ya. So, perlu ide kreatif setiap saat
untuk mengatasinya. Saya putuskan untuk mencari di laman Cookpad. Dan menemukan resep yang simpel, karena hanya
memakai teflon.
Fyi,
sate taichan adalah sebuah varian sate yang berisi daging ayam yang dibakar
tanpa baluran bumbu kacang atau kecap seperti sate pada umumnya. Asal sate ini
masih simpang siur. Ada yang mengatakan
dikenalkan oleh orang Jepang, ada pula yang menyebutkan dari orang Korea
Selatan. Namun, apapun itu, masakan ini popular
dan rasanya mantap juga. Alhamdulillah
mantul! Sensasi pedas, asam, asinnya pas. Yuk, cobain!
RESEP
Bahan-bahan:
250 gram ayam fillet, potong dadu 1x1 cm/ sesuai selera
15-20 Tusuk sate
Bahan marinasi:
1/4 sdt garam
1/2-1 buah jeruk limau, peras airnya
1/4 sdt lada bubuk
1/2 sdt bawang putih bubuk (me: kaldu ayam bubuk)
Bahan sambal:
3 buah cabai rawit merah (me: 5)
5 buah cabai rawit keriting
3 siung bawang merah
1 siung bawang putih
1 ujung sdt garam
1/4 sdt kaldu bubuk
1 sdt gula pasir
2 lembar daun jeruk
1/2-1 jeruk nipis
100 ml air
1 sdt minyak
Secukupnya minyak untuk olesan saat memanggang
Langkah:
1. Marinasi ayam, diamkan
di kulkas selama 15 menit.
2. Sementara menunggu
marinasi ayam, buat sambal sate terlebih dahulu. Rebus semua bahan sambal
hingga mendapat kekentalan yang sesuai. Tuang di wadah.
3.Tusuk ayam yang telah
dimarinasi. Jumlah setiap tusukan sesuaikan masing-masing.
4. Siapkan panggangan.
Untuk memudahkan proses ini, saya gunakan sarangan (tempat untuk
meletakkan makanan saat dikukus dalam panci). Tunggu panasnya pas. Olesi
ayam yang ditusuk dengan minyak, lalu panggang.
5. Setelah dibolak-balik
hingga seluruh bagian matang, sate taichan siap disajikan dan disantap.
Yummy!
Labels:
Dapur Uji Masak,
Gaya Hidup,
Inspirasi
Wisata Edukatif ke Kebun Binatang Mini Faunaland Ancol
Papan selamat datang ke Faunaland. |
"Bu, hari ini kita kemana? Ke Monas ya?" tanya si sulung.
Berawal dari pertanyaan itu, akhirnya gagal berdiam saja di penginapan, he.... Dan hunting objek wisata lain di Jakarta yang pas untuk dikunjungi bersama anak-anak saat itu.
Labels:
Inspirasi,
Perjalanan,
Rupa-rupa,
Tips,
Wisata
QnA : Cara Menentukan Harakat Huruf Pertama yang "Gundul" pada Ayat Al-Qur'an
Seringnya membaca Al-Qur'an belum tentu membuat saya (mungkin Anda juga) merasa selalu sempurna. Sebagai manusia biasa, ada kalanya tergesa-gesa bacaannya sehingga salah, atau merasa ragu sehingga jadi salah juga. Wallahu'alam, semoga Allah mengampuni jika ada kesalahan yang demikian, baik sengaja ataupun tidak.
Salah satu cara yang saya lakukan setiap kali memiliki keraguan, terutama soal agama, khususnya dalam hal membaca Al-Qur'an adalah bertanya kepada orang yang lebih paham. Alhamdulillah masih ada yang terdekat, yaitu orangtua, bapak (opa), maka pada beliau lah saya bertanya.
Berikut adalah pertanyaan saya terkait soal harakat pada salah satu ayat Al-Qur'an kepada beliau. Semoga bermanfaat.
Tanya:
Opa, huruf pertama itu dibacanya fathah atau kasrah?
Nah, jika menemukan lagi yang sejenis itu, untuk menentukan harakatnya patokannya apa?
Di Al-Quran yang dari opa itu (yang ternyata standar Madinah, oleh-oleh sewaktu umroh beliau) lebih banyak lagi model seperti itu, dan kebanyakan di kata-kata yang tidak familiar.
Jawab:
Dibaca damah, urkudh.
Cara mudah untuk menentukan sementara yaitu bila huruf ke 3 damah berarti huruf pertama didamah, bila dikasrah berarti huruf pertama dikasrah, contoh disurat yasin Ittabi'u.
Perlu penjelasan panjang sementara kaya itu saja.
Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Salah satu cara yang saya lakukan setiap kali memiliki keraguan, terutama soal agama, khususnya dalam hal membaca Al-Qur'an adalah bertanya kepada orang yang lebih paham. Alhamdulillah masih ada yang terdekat, yaitu orangtua, bapak (opa), maka pada beliau lah saya bertanya.
Berikut adalah pertanyaan saya terkait soal harakat pada salah satu ayat Al-Qur'an kepada beliau. Semoga bermanfaat.
Source: Dokumen Pribadi. |
Tanya:
Opa, huruf pertama itu dibacanya fathah atau kasrah?
Nah, jika menemukan lagi yang sejenis itu, untuk menentukan harakatnya patokannya apa?
Di Al-Quran yang dari opa itu (yang ternyata standar Madinah, oleh-oleh sewaktu umroh beliau) lebih banyak lagi model seperti itu, dan kebanyakan di kata-kata yang tidak familiar.
Jawab:
Dibaca damah, urkudh.
Cara mudah untuk menentukan sementara yaitu bila huruf ke 3 damah berarti huruf pertama didamah, bila dikasrah berarti huruf pertama dikasrah, contoh disurat yasin Ittabi'u.
Perlu penjelasan panjang sementara kaya itu saja.
Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Kenalkan Kebiasaan Membaca pada Anak (Bagian 1)
Ibu dan Perpustakaan Az-Ziyadah. |
Saya pernah mendapat pertanyaan seputar aktivitas membaca,
yaitu (1) bagaimana caranya agar bisa suka membaca? Pertanyaan berikutnya, (2)
bagaimana mengajarkan agar anak-anak suka membaca?
Jawaban Pertama,
Di usia saya yang sudah kepala tiga (ketahuan angkatan
berapa ya?π
) membaca sudah merupakan bagian dari keseharian. Meski sudah mulai
berbagi dengan membaca lewat gadget. Namun, membaca tulisan di kertas atau
buku, setiap hari selalu dilakukan, meski hanya satu atau dua kalimat.
Jadi, darimana kebiasaan membaca itu bermula? Tentunya dari
kecil ya. Diawali dari komitmen ibu saya untuk membuat anak-anaknya bisa
menulis dan membaca. Beliau rajin membuat kami berkutat dengan pensil dan
kertas. Tapi, waktu itu tidak ada hasil lain selain bisa membaca dan menulis
ya. Lain sekarang, jika dibimbing kreativitasnya mungkin bisa menjadi suatu karya
yang lebih bernilai.
Back to my story, apakah lantas jadi suka membaca dari
pensil dan kertas saja? Jawabnya, tidak. Seperti anak-anak pada umumnya, yang
suka dengan hal-hal baru. Atau anak laki-laki yang suka mobil-mobilan, dan
anak-anak perempuan yang suka boneka. Maka, untuk suka membaca, bapak dan ibu
saya sering mendatangkan majalah atau buku baru untuk anak-anaknya. Biaya hidup
keluarga yang terbatas tentu membuat mereka membuat trik-trik. Kami (saya dan
saudari-saudari), saat itu tentu tidak berpikir sedalam itu. Hanya tahu bahwa
kadang ada bacaan baru, kadang tidak.
Kini, membayangkan bapak dan ibu menyanggupi permintaan kami
membeli majalah Bobo setiap kamis rasanya menyesakkan dada. Berapa rupiah
anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk membelinya, sedih...π
Nah, jadi dalam keterbatasan, bapak dan ibu tetap memenuhi
kebutuhan kami akan kebutuhan membaca. Bahkan ketika kami belum tahu apa
pentingnya suka membaca buku.
Kembali kepada trik dan strategi, apa yang bapak dan ibu
saya lakukan? Selain sesekali membeli sendiri, bapak sering membawa pulang buku
bacaan dari perpustakaan sekolah. Memang maksudnya pinjam, tapi pinjamnya
kadang sudah melebihi batas. Apakah tidak ada yang mencari? Sayangnya tidak,
sepengetahuan saya seperti itu. Apakah tidak takut dosa, kan seperti mencuri?
Tentu saja ada. Sering kami bertanya paa bapak, "bukunya tidak
dikembalikan?". Kata bapak, kapan-kapan saja toh disana pun tidak ada yang
membaca. Jadi, apakah kami jadi bagian dari penyelamat buku? Yang pasti pada
suatu waktu, semua buku itu dikumpulkan dan tidak ada di rumah lagi
(diloakkan?).
Cara yang lain dilakukan oleh ibu saya. Tidak, beliau tidak
mengambil buku di perpustakaan sekolah. Beliau mendekatkan kami dengan adiknya,
alias paman saya alias pak lik. Entah awal mulanya bagaimana, suatu hari pak
lik datang lalu menaruh beberapa buku bacaan di hadapan saya dan saudari saya.
Langsung tertarik? Saya, tidakπ. Kakak saya adalah pemicunya. Buat anak kedua,
kakak adalah panutan. Setelah kakak saya membaca, dia akan berkomentar. Dan
komentarnya selalu membuat saya ingin ikut membacanya.
Jika dari bapak, buku yang didapat adalah buku karangan
penulis dalam negeri. Dari pak lik, untuk pertama kalinya kami mendapat buku
karangan luar negeri. Dan pilihan pak lik selalu cocok untuk kami. Buku
petualangan dan keseharian karya Enid Blyton adalah buku-buku pertama yang
dihadirkan. Buku favorit selanjutnya adalah karya S. Mara Gd. yang bercerita
tentang misteri.
Darimana kah pak lik mendapatkan buku-buku itu? Kalian harus
tahu, karena ini sangat epik. Jadi, pak lik mendapatkan buku itu dari sebuah
perpustakaan. Perpustakaan itu katanya sepi dan dijaga oleh seorang perempuan
yang menggunakan kaca mata tebal. Bagaimana cara pak lik? Biar jadi rahasia
saja ya. Yang pasti beberapa dari buku tersebut hingga sekarang masih disimpan.
Kembali, apakah tidak takut dosa? Saking tidak nyamannya,
sampai ketika pak lik datang dengan buku-buku yang bener-bener baru kami harus
bertanya berkali-kali "ini beli atau bukan, Lik". Terakhir dengan meyakinkan katanya beli,
Alhamdulillah.
Jadi pada suatu tahun lupa tepatnya, pak lik
memberi saya dan dua saudari saya kado saat kami masing-masing ulang tahun.
Kado tersebut berupa buku, dan berjumlah lebih dari satu. Di bulan Mei, kakak
saya yang sudah beranjak remaja mendapatkan 10 atau lebih buku karya RL. Stine.
Waktu itu sedang hits ya. Di bulan Juli, giliran saya, dengan jumlah yang
hampir sama, pak lik datang membawa komik Jepang bertajuk Serial Cantik dan
Serial Misteri. Di bulan Sepetember, giliran adik saya mendapatkan serial
dongeng karya Enid Blyton, jumlahnya di atas 5. Tahun itu sepertinya menjadi
tahun yang membahagiakan sekali, Alhamdulillah. Entah kapan akhir masa pak lik
menyuplai kami buku-buku, mungkin saat kami sudah mulai sibuk dengan sekolah.
(Terima kasih banyak, Lik ππ).
Salah satu kado untuk adik saya. |
Mungkin buku-buku dari pak lik lah yang akhirnya memberi
pengetahuan kepada kami bahwa ada jenis buku selain majalah Bobo dan buku
perpustakaan yang bisa kami cari di toko buku. Selain dari tayangan televisi
yang ada saat itu. Mulailah saya dan kakak suka membeli komik Doraemon atau
Conan dengan uang tabungan sendiri. Sesekali saja, namun bisa menjadi lebih
dari dua puluh buku, dimulai dari harga komik 4 ribuan rupiah (kalau tidak
salah).
Banyaknya buku dan banyaknya anak-anak seumuran di sekitar
kami, mendatangkan sebuah ide dari bapak (atau ibu juga) untuk mendirikan
perpustakaan kecil dan sederhana. Sebab raknya pun dibuat hanya dengan kayu
reng dan kawat (ide bapak). Perpustakaan itu diberi nama 'Az-Ziyadah' oleh
bapak. Maknanya mendalam, kurang lebih adalah 'menambah'. Maksudnya adalah
menambah pengetahuan bagi yang meminjam atau membaca buku-buku yang ada di
perpustakaan. sekaligus menambah pendapatan, karena ada biaya untuk meminjamnya
(sekitar 50 atau 100 rupiah). Meski pada kenyataannya lebih sering kami
gratiskan, dengan alasan teman dekat. Semua yang pinjam adalah teman dekat
akhirnya tidak ada pendapatan sama sekali ya π
.
Jejak masa lalu, Perpustakaan Az-Ziyadah |
Saya lupa berapa lama perpustakaan itu bertahan, pun semakin
bertambah usia dan sibuk sekolah. Dengan sendirinya buku-buku yang berjajar di
rak dimasukkan dalam kotak-kotak kardus. Hingga suatu ketika diloakkan. Yang
pasti mudah-mudahan dengan perpustakaan tersebut, bisa menebus kesalahan yang
dilakukan sebelumnya, ketika meminjam permanen dan semi permanen buku orang
lain ya.
Sampai di kesimpulan ya. Jadi, tidaklah instan untuk bisa
suka membaca. Butuh usaha yang keras, konsisten, dan niat yang positif. Agar langkah kita untuk diri sendiri atau apapun yang menjadi tujuan bisa terwujud dengan baik. Ada kendala tidak menjadi halangan untuk berhenti. Ciptakan trik dan strategi karena Sang Maha Baik juga tidak akan berhenti memberikan jalan selama kita mau berusaha.
Oya, proses membaca ada yang disebut pemahaman ya. Entah apa istilahnya. Untuk bisa membaca hingga memahami bacaan juga butuh waktu yang tidak singkat. Maksudnya begini, ada saatnya kita hanya membaca tulisan, tetapi tidak sampai ke pikiran dan hati pun tidak bisa merasakan energinya. Jika demikian, maka yang dilakukan hanya membaca tulisan saja tanpa memahami. Dan pengalaman saya, saya baru bisa men-sinkronkan semuanya saat usia 12 tahun. Jadi, sebelum usia itu, membaca hanya membaca, namun tidak sampai di hati.
Oya, proses membaca ada yang disebut pemahaman ya. Entah apa istilahnya. Untuk bisa membaca hingga memahami bacaan juga butuh waktu yang tidak singkat. Maksudnya begini, ada saatnya kita hanya membaca tulisan, tetapi tidak sampai ke pikiran dan hati pun tidak bisa merasakan energinya. Jika demikian, maka yang dilakukan hanya membaca tulisan saja tanpa memahami. Dan pengalaman saya, saya baru bisa men-sinkronkan semuanya saat usia 12 tahun. Jadi, sebelum usia itu, membaca hanya membaca, namun tidak sampai di hati.
Demikian jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Semoga yang
baiknya bisa menjadi manfaatnya, yang jeleknya mohon dimaafkan ya.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Untuk
jawaban pertanyaan kedua, lanjut di lain waktu ya.
Tabik,
Bintu Tsaniyah
Inilah Alasan Untuk Tidak Perduli (yang 'Terlalu Berisik')
“Kiye tulisan kaya kiye (mengeja beberapa huruf), macane kaya kiye (melafalkan satu kata), bener ora?” tanya beliau.
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku.
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau.
Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula belau hanya sekedar membuka obrolan sembari bercanda.
Tapi soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun.
Itu menjadi pemandanganku sehari-hari juga, beliau dan membaca. Dan siang itu obrolan kami mengasyikkan.
Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa. Demikian pula yang terjadi keesokan harinya.
Pagi itu aku sudah berangkat ke lokasi khotbah. Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir. Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan. Biasa dengan koko panjang yang warnanya aku lupa dan memakai sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya. Aku yakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah.
Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, yang berjarak 10 meter dari lokasi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan. Lewat pengeras suara berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai. Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu?
Bukan hanya aku yang bingung. Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik resah. Hatiku terkesiap, kulihat beliau memutar langkah. Beliau berbalik pulang.
Kujalankan sisa pelaksanaan ibadah raya dengan hati tidak nyaman. Kuharap Tuhan memaafkanku. Setelah selesai, dengan langkah cepat langsung berjalan pulang. Penasaran, bagaimana keadaan beliau.
Rumah tampak hening, kubuka pintu depan. Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau. Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok. Lupa pastinya, kurasa beliau membaca buku. Aku datang. Beliau hanya mengangkat matanya sejenak tanda menyatakan selamat datang.
Sekilas kulihat, matanya sedikit merah. Menangis? Bisa jadi. Tanda apa? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik.
Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita. Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya juga tersedia. Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi.
Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah.
Hari ini mungkin ingatan (yang boleh kusebut) luka itu sudah memudar. Hubungan beliau dengan satu dua orang yang terlibat pun sudah cukup baik (Aamiin). Tapi, sepertinya bekasnya masih terasa.
Aku yang pelupa masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau.
“Kapan?”
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau.
Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. Ku tahu, itu cara beliau bertahan dari segala permadalahan. Memendam sendiri dalam sedikit kata-kata.
Siapapun bebas membuat kesimpulan atas hal apapun yang pernah dialami. Untuk kisah ini simpulan saya adalah jangan pernah melihat seseorang dari kulit luanya. Itu peribahasa umum ya, tapi seratus persen benar. Karena senyum di wajah, bisa jadi seringai di hati. Sebaik-baik fisik dan penampilan, tidak menjamin bahwa orang itu pasti baik hati dan perilakunya. Namun, kuasa Tuhan, lisan yang pintar berdalih selalu tidak mampu menampung perilakunya yang sebenarnya.
Kejadian hari itu membuat saya paham untuk tidak perlu selalu mengikuti arus, meskipun tampaknya banyak orang berada disana. Keyakinan yang paling benar hanya milik Sang Maha. Manusia terbaik hanya Yang Terpilih, Sang Baginda SAW yang Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Maka rasanya kurang pas jika sampai menganggap seseorang suci sepenuhnya. Pun menganggap yang lain kotor seterusnya. Sehingga tidak pas rasanya berisik atas hal demikian.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Subscribe to:
Posts (Atom)