Resep Simpel Sate Taichan, Pasti Mantul!

Di masa pandemi seperti sekarang ini, ayam mungkin menjadi salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Tentu saja setelah telur. Malah ada fenomena di beberapa daerah harga ayam menurun drastis. Meski ini bukan hal yang baik untuk peternak ayam, tapi bagi masyarakat ini semacam keberuntungan ya. Ya, apapun bersyukurlah saja, tentunya para peternak ayam, jika ikhlas InsyaAllah suatu saat rezeki akan diganti.

Kembali ke soal ayam. Seringnya membeli ayam tentunya bisa bikin bosan ya (dalam hati bersyukur bisa membeli ayam). Apalagi kalau bosan itu terdengar dari celotehan si kecil. Emak bisa pusing tujuh keliling ya. So, perlu ide kreatif setiap saat untuk mengatasinya. Saya putuskan untuk mencari di laman Cookpad.  Dan menemukan resep yang simpel, karena hanya memakai teflon. 

Fyi, sate taichan adalah sebuah varian sate yang berisi daging ayam yang dibakar tanpa baluran bumbu kacang atau kecap seperti sate pada umumnya. Asal sate ini masih simpang siur.  Ada yang mengatakan dikenalkan oleh orang Jepang, ada pula yang menyebutkan dari orang Korea Selatan.  Namun, apapun itu, masakan ini popular dan  rasanya mantap juga. Alhamdulillah mantul! Sensasi pedas, asam, asinnya pas. Yuk, cobain!

RESEP 
Bahan-bahan:


250 gram ayam fillet, potong dadu 1x1 cm/ sesuai selera
15-20 Tusuk sate
Bahan marinasi:
1/4 sdt garam
1/2-1 buah jeruk limau, peras airnya
1/4 sdt lada bubuk
1/2 sdt bawang putih bubuk (me: kaldu ayam bubuk)
Bahan sambal:
3 buah cabai rawit merah (me: 5)
5 buah cabai rawit keriting
3 siung bawang merah
1 siung bawang putih
1 ujung sdt garam
1/4 sdt kaldu bubuk
1 sdt gula pasir
2 lembar daun jeruk
1/2-1 jeruk nipis
100 ml air
1 sdt minyak
Secukupnya minyak untuk olesan saat memanggang


Langkah:

1. Marinasi ayam, diamkan di kulkas selama 15 menit.

2. Sementara menunggu marinasi ayam, buat sambal sate terlebih dahulu. Rebus semua bahan sambal hingga mendapat kekentalan yang sesuai. Tuang di wadah. 


3.Tusuk ayam yang telah dimarinasi. Jumlah setiap tusukan sesuaikan masing-masing. 


4. Siapkan panggangan. Untuk memudahkan proses ini, saya gunakan sarangan (tempat untuk meletakkan makanan saat dikukus dalam panci). Tunggu panasnya pas. Olesi ayam yang ditusuk dengan minyak, lalu panggang. 


5. Setelah dibolak-balik hingga seluruh bagian matang, sate taichan siap disajikan dan disantap. Yummy! 


Wisata Edukatif ke Kebun Binatang Mini Faunaland Ancol


Papan selamat datang ke Faunaland.
"Bu, hari ini kita kemana? Ke Monas ya?" tanya si sulung.


Berawal dari pertanyaan itu, akhirnya gagal berdiam saja di penginapan, he....  Dan hunting objek wisata lain di Jakarta yang pas untuk dikunjungi bersama anak-anak saat itu.

QnA : Cara Menentukan Harakat Huruf Pertama yang "Gundul" pada Ayat Al-Qur'an

Seringnya membaca Al-Qur'an belum tentu membuat saya (mungkin Anda juga) merasa selalu sempurna. Sebagai manusia biasa, ada kalanya tergesa-gesa bacaannya sehingga salah, atau merasa ragu sehingga jadi salah juga. Wallahu'alam, semoga Allah mengampuni jika ada kesalahan yang demikian, baik sengaja ataupun tidak.

Salah satu cara yang saya lakukan setiap kali memiliki keraguan, terutama soal agama, khususnya dalam hal membaca Al-Qur'an adalah bertanya kepada orang yang lebih paham. Alhamdulillah masih ada yang terdekat, yaitu orangtua, bapak (opa), maka pada beliau lah saya bertanya.

Berikut adalah pertanyaan saya terkait soal harakat pada salah satu ayat Al-Qur'an kepada beliau. Semoga bermanfaat.

Source: Dokumen Pribadi.

Tanya: 
Opa, huruf pertama itu dibacanya fathah atau kasrah?
Nah, jika menemukan lagi yang sejenis itu, untuk menentukan harakatnya patokannya apa?
Di Al-Quran yang dari opa itu (yang ternyata standar Madinah, oleh-oleh sewaktu umroh beliau) lebih banyak lagi model seperti itu, dan kebanyakan di kata-kata yang tidak familiar.

Jawab: 
Dibaca damah,  urkudh.
Cara mudah untuk menentukan sementara yaitu bila huruf ke 3 damah berarti huruf pertama didamah, bila dikasrah berarti huruf pertama dikasrah, contoh disurat yasin Ittabi'u.
Perlu penjelasan panjang sementara kaya itu saja.

Akhir kata, Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.

Kenalkan Kebiasaan Membaca pada Anak (Bagian 1)

Ibu dan Perpustakaan Az-Ziyadah.
Saya pernah mendapat pertanyaan seputar aktivitas membaca, yaitu (1) bagaimana caranya agar bisa suka membaca? Pertanyaan berikutnya, (2) bagaimana mengajarkan agar anak-anak suka membaca?


Jawaban Pertama,
Di usia saya yang sudah kepala tiga (ketahuan angkatan berapa ya?😅 ) membaca sudah merupakan bagian dari keseharian. Meski sudah mulai berbagi dengan membaca lewat gadget. Namun, membaca tulisan di kertas atau buku, setiap hari selalu dilakukan, meski hanya satu atau dua kalimat. 

Jadi, darimana kebiasaan membaca itu bermula? Tentunya dari kecil ya. Diawali dari komitmen ibu saya untuk membuat anak-anaknya bisa menulis dan membaca. Beliau rajin membuat kami berkutat dengan pensil dan kertas. Tapi, waktu itu tidak ada hasil lain selain bisa membaca dan menulis ya. Lain sekarang, jika dibimbing kreativitasnya mungkin bisa menjadi suatu karya yang lebih bernilai.

Back to my story, apakah lantas jadi suka membaca dari pensil dan kertas saja? Jawabnya, tidak. Seperti anak-anak pada umumnya, yang suka dengan hal-hal baru. Atau anak laki-laki yang suka mobil-mobilan, dan anak-anak perempuan yang suka boneka. Maka, untuk suka membaca, bapak dan ibu saya sering mendatangkan majalah atau buku baru untuk anak-anaknya. Biaya hidup keluarga yang terbatas tentu membuat mereka membuat trik-trik. Kami (saya dan saudari-saudari), saat itu tentu tidak berpikir sedalam itu. Hanya tahu bahwa kadang ada bacaan baru, kadang tidak.

Kini, membayangkan bapak dan ibu menyanggupi permintaan kami membeli majalah Bobo setiap kamis rasanya menyesakkan dada. Berapa rupiah anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk membelinya, sedih...😭
Nah, jadi dalam keterbatasan, bapak dan ibu tetap memenuhi kebutuhan kami akan kebutuhan membaca. Bahkan ketika kami belum tahu apa pentingnya suka membaca buku.

Kembali kepada trik dan strategi, apa yang bapak dan ibu saya lakukan? Selain sesekali membeli sendiri, bapak sering membawa pulang buku bacaan dari perpustakaan sekolah. Memang maksudnya pinjam, tapi pinjamnya kadang sudah melebihi batas. Apakah tidak ada yang mencari? Sayangnya tidak, sepengetahuan saya seperti itu. Apakah tidak takut dosa, kan seperti mencuri? Tentu saja ada. Sering kami bertanya paa bapak, "bukunya tidak dikembalikan?". Kata bapak, kapan-kapan saja toh disana pun tidak ada yang membaca. Jadi, apakah kami jadi bagian dari penyelamat buku? Yang pasti pada suatu waktu, semua buku itu dikumpulkan dan tidak ada di rumah lagi (diloakkan?).

Cara yang lain dilakukan oleh ibu saya. Tidak, beliau tidak mengambil buku di perpustakaan sekolah. Beliau mendekatkan kami dengan adiknya, alias paman saya alias pak lik. Entah awal mulanya bagaimana, suatu hari pak lik datang lalu menaruh beberapa buku bacaan di hadapan saya dan saudari saya. Langsung tertarik? Saya, tidak😆. Kakak saya adalah pemicunya. Buat anak kedua, kakak adalah panutan. Setelah kakak saya membaca, dia akan berkomentar. Dan komentarnya selalu membuat saya ingin ikut membacanya.

Jika dari bapak, buku yang didapat adalah buku karangan penulis dalam negeri. Dari pak lik, untuk pertama kalinya kami mendapat buku karangan luar negeri. Dan pilihan pak lik selalu cocok untuk kami. Buku petualangan dan keseharian karya Enid Blyton adalah buku-buku pertama yang dihadirkan. Buku favorit selanjutnya adalah karya S. Mara Gd. yang bercerita tentang misteri. 

Darimana kah pak lik mendapatkan buku-buku itu? Kalian harus tahu, karena ini sangat epik. Jadi, pak lik mendapatkan buku itu dari sebuah perpustakaan. Perpustakaan itu katanya sepi dan dijaga oleh seorang perempuan yang menggunakan kaca mata tebal. Bagaimana cara pak lik? Biar jadi rahasia saja ya. Yang pasti beberapa dari buku tersebut hingga sekarang masih disimpan. 

Kembali, apakah tidak takut dosa? Saking tidak nyamannya, sampai ketika pak lik datang dengan buku-buku yang bener-bener baru kami harus bertanya berkali-kali "ini beli atau bukan, Lik". Terakhir dengan meyakinkan katanya beli, Alhamdulillah.

Jadi pada suatu tahun lupa tepatnya, pak lik memberi saya dan dua saudari saya kado saat kami masing-masing ulang tahun. Kado tersebut berupa buku, dan berjumlah lebih dari satu. Di bulan Mei, kakak saya yang sudah beranjak remaja mendapatkan 10 atau lebih buku karya RL. Stine. Waktu itu sedang hits ya. Di bulan Juli, giliran saya, dengan jumlah yang hampir sama, pak lik datang membawa komik Jepang bertajuk Serial Cantik dan Serial Misteri. Di bulan Sepetember, giliran adik saya mendapatkan serial dongeng karya Enid Blyton, jumlahnya di atas 5. Tahun itu sepertinya menjadi tahun yang membahagiakan sekali, Alhamdulillah. Entah kapan akhir masa pak lik menyuplai kami buku-buku, mungkin saat kami sudah mulai sibuk dengan sekolah. (Terima kasih banyak, Lik 🙏😍).

Salah satu kado untuk adik saya.
Mungkin buku-buku dari pak lik lah yang akhirnya memberi pengetahuan kepada kami bahwa ada jenis buku selain majalah Bobo dan buku perpustakaan yang bisa kami cari di toko buku. Selain dari tayangan televisi yang ada saat itu. Mulailah saya dan kakak suka membeli komik Doraemon atau Conan dengan uang tabungan sendiri. Sesekali saja, namun bisa menjadi lebih dari dua puluh buku, dimulai dari harga komik 4 ribuan rupiah (kalau tidak salah).

Banyaknya buku dan banyaknya anak-anak seumuran di sekitar kami, mendatangkan sebuah ide dari bapak (atau ibu juga) untuk mendirikan perpustakaan kecil dan sederhana. Sebab raknya pun dibuat hanya dengan kayu reng dan kawat (ide bapak). Perpustakaan itu diberi nama 'Az-Ziyadah' oleh bapak. Maknanya mendalam, kurang lebih adalah 'menambah'. Maksudnya adalah menambah pengetahuan bagi yang meminjam atau membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. sekaligus menambah pendapatan, karena ada biaya untuk meminjamnya (sekitar 50 atau 100 rupiah). Meski pada kenyataannya lebih sering kami gratiskan, dengan alasan teman dekat. Semua yang pinjam adalah teman dekat akhirnya tidak ada pendapatan sama sekali ya 😅.

Jejak masa lalu, Perpustakaan Az-Ziyadah
Saya lupa berapa lama perpustakaan itu bertahan, pun semakin bertambah usia dan sibuk sekolah. Dengan sendirinya buku-buku yang berjajar di rak dimasukkan dalam kotak-kotak kardus. Hingga suatu ketika diloakkan. Yang pasti mudah-mudahan dengan perpustakaan tersebut, bisa menebus kesalahan yang dilakukan sebelumnya, ketika meminjam permanen dan semi permanen buku orang lain ya.

Sampai di kesimpulan ya. Jadi, tidaklah instan untuk bisa suka membaca. Butuh usaha yang keras, konsisten, dan niat yang positif.  Agar langkah kita untuk diri sendiri atau apapun yang menjadi tujuan bisa terwujud dengan baik. Ada kendala tidak menjadi halangan untuk berhenti. Ciptakan trik dan strategi karena Sang Maha Baik juga tidak akan berhenti memberikan jalan selama kita mau berusaha.

Oya, proses membaca ada yang disebut pemahaman ya. Entah apa istilahnya. Untuk bisa membaca hingga memahami bacaan juga butuh waktu yang tidak singkat. Maksudnya begini, ada saatnya kita hanya membaca tulisan, tetapi tidak sampai ke pikiran dan hati pun tidak bisa merasakan energinya. Jika demikian, maka yang dilakukan hanya membaca tulisan saja tanpa memahami. Dan pengalaman saya, saya baru bisa men-sinkronkan semuanya saat usia 12 tahun.  Jadi, sebelum usia itu, membaca hanya membaca, namun tidak sampai di hati.

Demikian jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Semoga yang baiknya bisa menjadi manfaatnya, yang jeleknya mohon dimaafkan ya.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Untuk jawaban pertanyaan kedua, lanjut di lain waktu ya.

Tabik,

Bintu Tsaniyah





 


Inilah Alasan Untuk Tidak Perduli (yang 'Terlalu Berisik')

Suatu siang di ruang duduk belakang, aku sedang ‘entah ngapain’ duduk di kursi.  Sementara jarak beberapa kursi ada beliau.  Duduk santai bersandar, kedua kaki diangkat menekuk lututnya hingga seakan sejajar dengan bahunya.  Dengan kacamata, beliau menekuri satu bendel kertas ukuran A5 dengan serius.  Tak berapa lama.

“Kiye tulisan kaya kiye (mengeja beberapa huruf), macane kaya kiye (melafalkan satu kata), bener ora?” tanya beliau.
“Nggih, leres. Badhe ngge napa sih?” tanyaku.
“Lha kan ngesuk arep khotbah raya ya, nah…nah…nek kiye (mengeja kata lagi) bener mbok?” kata beliau.


Aku tahu terkadang beliau memang serius bertanya, tapi terkadang pula belau hanya sekedar membuka obrolan sembari bercanda.


Tapi soal mempelajari bahan saat beliau hendak berbicara didepan umum, entah itu khotbah Jumat, khotbah Hari Raya atau ceramah rutin, itu sudah pasti dilakukan. Meski aktivitas pidato tersebut sudah menjadi rutinitas layaknya ‘makanan pokok’ selama bertahun-tahun.


Itu menjadi pemandanganku sehari-hari juga, beliau dan membaca.  Dan siang itu obrolan kami mengasyikkan.


Namun, memang segala hal yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi.  Dan hadirnya perubahan tidak selalu bisa diprediksi kapan dan berupa apa.  Demikian pula yang terjadi keesokan harinya.


Pagi itu aku sudah berangkat ke lokasi khotbah.  Mendapat tempat duduk yang nyaman, duduk takzim sambil bertakbir.  Tak berapa lama, kulihat sosok beliau berjalan.  Biasa dengan koko panjang yang warnanya aku lupa dan memakai sarung. Tampak pula sajadah yang terlipat rapi memanjang tersampir di bahunya.  Aku yakin beliau juga harum, karena minyak wangi sama wajibnya dengan ibadah.


Sekitar tiga meter sebelum beliau sampai di pojokan jalan, yang berjarak 10 meter dari lokasi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangan.  Lewat pengeras suara berbunyi penanda bahwa acara akan segera dimulai.  Tapi, beliau belum sampai di lokasi, bagaimana bisa penanda terlebih dahulu?
Bukan hanya aku yang bingung.  Kudengar sekeliling pun mulai berbisik-bisik resah.  Hatiku terkesiap, kulihat beliau memutar langkah.  Beliau berbalik pulang.  


Kujalankan sisa pelaksanaan ibadah raya dengan hati tidak nyaman.  Kuharap Tuhan memaafkanku.  Setelah selesai, dengan langkah cepat langsung berjalan pulang.  Penasaran, bagaimana keadaan beliau.


Rumah tampak hening, kubuka pintu depan.  Tak perlu butuh waktu lama untuk mencari beliau.  Beliau ada di kursi ruang tamu, di kursi favoritnya, posisi pojok.  Lupa pastinya, kurasa beliau membaca buku.  Aku datang.  Beliau hanya mengangkat matanya sejenak tanda menyatakan selamat datang. 


Sekilas kulihat, matanya sedikit merah.  Menangis?  Bisa jadi.  Tanda apa? Entah, tapi bukan sesuatu yang baik.

Hari itu, Hari Raya, tapi seisi rumah tidak terlalu bersuka-cita.  Meski simpati khalayak cukup berdatangan. Meski hidangan segala rupa ala kadarnya juga tersedia.  Kebahagiaan usai kewajiban ‘tidak sarapan’ selama 1 bulan pun seakan tidak membuat perut meronta-ronta terus minta diisi. 


Hari itu, Hari Raya, yang pasti itulah kali terakhir langkahnya untuk berkhotbah.    


Hari ini mungkin ingatan (yang boleh kusebut) luka itu sudah memudar.  Hubungan beliau dengan satu dua orang yang terlibat pun sudah cukup baik (Aamiin).  Tapi, sepertinya bekasnya masih terasa.
Aku yang pelupa masih penasaran dengan ‘kapan’ tepatnya kejadian itu bertanya pada beliau.
“Kapan?”
“Lah…mbuh…kelalen.” jawab beliau.


Sesimpel itu, dan dengan mimik yang biasa saja. Ku tahu, itu cara beliau bertahan dari segala permadalahan. Memendam sendiri dalam sedikit kata-kata.




Siapapun bebas membuat kesimpulan atas hal apapun yang pernah dialami.  Untuk kisah ini simpulan saya adalah jangan pernah melihat seseorang dari kulit luanya.  Itu peribahasa umum ya, tapi seratus persen benar.  Karena senyum di wajah, bisa jadi seringai di hati.  Sebaik-baik fisik dan penampilan, tidak menjamin bahwa orang itu pasti baik hati dan perilakunya.   Namun, kuasa Tuhan, lisan yang pintar berdalih selalu tidak mampu menampung perilakunya yang sebenarnya.

Kejadian hari itu membuat saya paham untuk tidak perlu selalu mengikuti arus, meskipun tampaknya banyak orang berada disana.  Keyakinan yang paling benar hanya milik Sang Maha.  Manusia terbaik hanya Yang Terpilih, Sang Baginda SAW yang Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Maka rasanya kurang pas jika sampai menganggap seseorang suci sepenuhnya.  Pun menganggap yang lain kotor seterusnya. Sehingga tidak pas rasanya berisik atas hal demikian.

Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


Cara Efektif Agar Anak Semangat Sekolah


“Bu, aku besok gak mau sekolah!”kata si Mas.
“Lho, kenapa, Mas?” ibu bertanya.
“Pokoknya aku gak mau, males!”si Mas menjawab lantas mengerucutkan bibirnya, tanda ngambek.
Usut punya usut, ternyata si Mas merasa belum bisa membaca, sementara teman-temannya banyak yang sudah bisa. Padahal, orangtuanya tidak pernah memaksanya untuk segera bisa membaca lho. 
Ya, itu adalah gambaran yang dialami penulis bersama buah hatinya.  Apakah Ayah dan Ibu juga punya pengalaman serupa?  Mungkin tulisan ini bisa bermanfaat untuk menyingkapinya. 


Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, sekolah saat ini dan zaman dahulu sudah jauh berbeda.  Perkembangan teknologi dan faktor-faktor lain membuat segala sesuatunya berjalan serba cepat dan tentu saja canggih.  Demikian pula tuntutan anak bersekolah.  Jika saat penulis kecil (generasi 80-an), pertama kali masuk sekolah adalah taman kanak-kanak usia 5 tahun.  Sementara saat ini, sudah ada istilah PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini dengan rata-rata usia muridnya kurang dari 5 tahun.  Meskipun (sebaiknya) kurikulum untuk anak usia dini berbentuk permainan.  Namun, itu sudah bagian dari alasan yang logis mengapa sekolah yang sebenarnya (sekolah dasar) mengharuskan anak-anak untuk segera bisa menguasai calistung (baca tulis hitung).

Jadi, jangan heran jika sekolah bisa jadi momok menakutkan.  Padahal sebaiknya sekolah adalah tempat terbaik, selain di rumah, untuk anak belajar segala hal.  Seperti belajar bersosialisasi, belajar ilmu pengetahuan, belajar ilmu agama dan membentuk kepribadian yang terarah.  Alangkah banyak manfaatnya.  Maka dari itu, sekolah sangat penting untuk anak-anak.

Lantas bagaimana jika anak-anak terlihat enggan untuk berangkat sekolah, seperti pengalaman penulis di atas?

Anak Bahagia, Semangat Sekolah
Penulis yakin ada banyak cara untuk mengatasi anak yang sedang tidak bersemangat sekolah.  Ada banyak teori yang mungkin bisa dipilih mana yang cocok dengan karakter anak Anda.  Namun, satu hal yang pasti, carilah dahulu akar permasalahan yang menyebabkan si anak merasa tidak bahagia di sekolah.  Setelah itu, lihat solusi apa yang kira-kira cocok.

Jika masalahnya tidak terkait dengan kekerasan fisik, maka kemungkinan karena kekhawatiran dan prasangka.  Perasaan yang negatif tersebut membuat anak takut untuk bersekolah.  Mungkin hal tersebut yang lebih menjadi alasan buah hati penulis saat enggan bersekolah.  Apalagi si kecil pun termasuk anak yang moody.

Sehingga solusi yang diambil penulis lebih kepada memperbaiki perasaan si kecil agar senantiasa bahagia. Berikut adalah cara-cara yang telah penulis coba lakukan, simak ya!

1.  Gerakan Rabu Ceria

Anak saya berusia 7 tahun dan 4 tahun, masing-masing laki-laki dan perempuan.  Keduanya masih sama-sama senang membeli mainan baru.  Meski hanya mainan senilai 2000 rupiah, tetapi jika diminta setiap hari, wajar jika saya, sebagai ibunya merasa tidak suka.  Sementara saya belum bisa membuat mereka berhenti total untuk belanja mainan.  

Alih-alih menghentikan kebiasaan tersebut dan mengurangi perdebatan dengan mereka, saya putuskan membuat Gerakan Rabu Ceria.  Apakah itu? Pada hari rabu, anak-anak saya berikan kesempatan membeli mainan.  Dan boleh lebih dari 2000 rupiah, saya katakan 10 ribu rupiah.  Kurang atau lebih pada hari itu saya ikhlas.  Perasaan ikhlas membuat saya bahagia, dan otomatis anak-anak pun baagia.  Mereka mendapat mainan baru, sekaligus tidak dimarahi oleh saya.

Mengapa harus hari rabu?  Suatu masa saya pernah membaca sebuah artikel tentang hari rabu yang menyatakan sebagai hari yang berat untuk seorang pekerja.  Namun, googling artikel lagi yang seperti demikian, ternyata tidak ditemukan lagi.  Justru rabu adalah hari yang menyenangkan.  Tapi apapun itu, jadwal sekolah si Tujuh Tahun di hari rabu memang lebih padat dibanding hari lainnya.  Oleh karena itu, InsyaAllah langkah saya tidak salah.  Cara ini cukup membantu membuat semangat anak-anak bersekolah cukup stabil.

2.  Gerakan “Ikuti Cara Bapak”

Sehari-hari bersama saya (ibunya), tentulah hal yang menyenangkan.  Anak-anak merasa aman dan nyaman.  Tetapi jika dilihat sebagai teman bermain, tentulah saya bukan favorit mereka.  Mengapa?  Karena ibu atau wanita adalah makhluk multi tasking.  Saat bermain, bisa jadi yang ada di pikirannya bermacam-macam, ada soal mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Lain dengan ayah atau laki-laki, karakternya sebaliknya.  Para ayah akan fokus saat melakukan sesuatu.  Atas dasar itulah, bersama ayah tentunya (seharusnya) adalah hal yang menyenangkan.

Suatu kali, saat bermain di pantai, tiba-tiba si Empat Tahun menjilat kaos bapaknya.  Otomatis saya kaget dan sedikit menyalahkan.  Tetapi, bapaknya santai dan anak-anak pun biasa saja.  Si Tujuh Tahun menjawab, “Kan kata Bapak begitu, Bu, kalau habis kena air laut jilat kaos Bapak biar hilang asinnya.  Kan kaos Bapak bersih.” Saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa.  Tetapi kalo dipikir-pikir mengatasi masalah juga cara tersebut.  Ada banyak hal lain yang teratasi dengan cara bapak, meskipun tanpa bapak disamping mereka saat itu.  


Cara anak-anak mengikuti cara bapaknya, dinilai lebih asyik.  Seringkali saya mencoba menyarankan sebuah solusi, ternyata mereka lebih memilih cara Bapak.  Dan mereka melakukannya dengan senang hati.  Jika anak-anak sedang mempunyai masalah di sekolah, maka saya sampaikan ke bapaknya agar diberi pengertian tambahan oleh beliau.  Dan tentunya caranya asyik.  Buat anak-anak, terkadang buat saya tetap membuat geleng-geleng kepala, hehe.

Demikian dua cara yang penulis lakukan untuk menyemangati anak-anak yang sedang kurang bersemangat untuk bersekolah.  Sebetulnya masih banyak cara lain yang dilakukan, seperti mengajak bermain di luar rumah, bermain ke taman, atau sekedar berkunjung ke perpustakaan.  Mungkin bisa disampaikan pada kesempatan yang lain.

Jangan putus asa saat si kecil tidak bersemangat sekolah.  Belum tentu sekolahnya yang kurang baik atau anak kita yang kurang pandai.  Karena pada dasarnya semua anak pandai, sesuai bakatnya masing-masing.  Tuhan tidak pernah memberikan hamba-Nya kekurangan tanpa kelebihan.  Tugas orangtua adalah memotivasi.  Tidak perlu menekan mereka terlalu keras untuk mencapai suatu standar.  Kelak pada masanya, mereka bisa menjadi yang terbaik. Satu hal lagi, waktu bergerak maju, cara ini sudah pasti akan berubah seiring perkembangan usia anak-anak. Para orangtua harus terus mengawal dan mendidik anak-anaknya dengan penuh semangat.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat, selebihnya wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.


 

Catatan Bintutsaniyah Template by Ipietoon Cute Blog Design