Nia Ramadhani mengatakan, “Sejak kecil saya diajarkan oleh ayah saya untuk tidak selalu ‘melihat keatas’, tetapi ‘melihat apa yang ada dibawah’ kita. Karena jika selalu melihat yang lebih dari kita, sampai kapanpun tidak akan pernah menemukan kepuasan. Sementara, jika sebaliknya, yang ada kita akan mudah bersyukur dan bahagia.”
Kurang lebih-karena saya bukan tipe penghapal kata-kata, demikian ujaran seorang Nia Ramadhani, salah seorang artis dan sosialita tanah air saat diwawancarai oleh host sebuah infotainmen. Tentu saja, prinsip yang dikatakan Nia bukanlah hal yang luar biasa. Banyak orang mengerti, entah diajarkan oleh orangtua atau lingkungan. Namun, siapa yang sudah sampai tingkat pemahaman? Saya rasa tidak banyak. Karena, terbukti semakin hari semakin banyak orang yang membandingkan dirinya dengan si A, si B atau si C, lantaran banyak hal. Barangkali juga membandingkan dengan si Nia Ramadhani itu sendiri, benar tidak?
Sekilas tentang perbedaan mengerti dan memahami versi saya adalah Anda mengetahui bahwa ujaran Nia itu, namun sekedar pengertiannya saja. Memang melihat keatas dan melihat kebawah teorinya seperti yang itu. Saat seseorang mengerti, maka levelnya hanya sampai disitu saja, tidak terbawa sampai kepada sikap dan perilaku. Dari sebuah pengertian, mendengar ujaran Nia, mungkin masih muncul komentar “Ah, kan Nia kayak, gampang saja mengatakan begitu” atau “Coba saja dia miskin, pasti beda sikapnya”.
Lain, jika seseorang sampai di level memahami, mendengar ujaran Nia akan lebih fokus pada prinsip yang dikatakannya. Lantas, memutuskan apakah bisa diterima oleh akal dan hati. Jika setuju, meskipun itu disematkan pada sosok Nia Ramadhani yang kelihatannya memiliki kemudahan segala hal, pasti akan fine. Tidak ada bedanya jika disematkan pada orang biasa atau orang paling miskin sekalipun.
Masih ingat tentang viral Nia tidak bisa kupas kulit salak? Yes, kekurangan dan kelebihan tiap orang relatif ya. Kesulitan membuka salak mungkin solusinya mudah, orang biasa kemungkinan kecil memiliki masalah seperti itu. Tapi ketika Nia mengatakan cukup sulit menangani anak-anaknya yang bosan lantaran pandemi sekarang, rasanya kita dan Nia tidak jauh beda ya. Eits, jangan lanjutkan pemikiran ke arah ‘fasilitas Nia yang bejibun’ ya, tetap jaga pikiran positif, okey!? Eh, saya jadi ingat adik saya, ketika dia berusia 17 tahun ternyata itu adalah pertama kalinya menyiangi kangkung. Dia bisa bingung menentukan bagian mana dari kangkung yang dipakai dan dibuang. Padahal sehari-hari masakan di rumah adalah sayuran, ajaib sebetulnya, hehe… So, mau tidak bisa kupas salak atau bingung siangi kangkung adalah contoh situasi yang bisa saja terjadi, dan awalnya luar biasa toh kalo ‘ditarik garis ke belakang’ semua ada alasannya.
Masa pandemi ini mungkin sulit bagi masyarakat untuk berpikir panjang, inginnya masa sulit ini segera berakhir. Saya juga berharap demikian. Akan tetapi, ekonomi yang sulit, rasa lapar yang mendera tidak menjadi alat untuk menyalahkan pihak lain. Saat kita berpikir bahwa “keadaan kita mungkin lebih baik dari orang lain”, InsyaAllah bisa menambah energi positif dan kebahagiaan. Lantas mendorong kita menciptakan ide-ide baru untuk mengentaskan diri dari kondisi yang buruk, bahkan mungkin tanpa disadari membawa kemanfaatan untuk orang lain. Siapapun bisa, tidak harus menjadi orang kaya. Jika kita mampu melakukannya, level kita mungkin sama dengan Nia Ramadhani, bahkan bisa lebih.
Wallahu a'lam bishawab, dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui.
Tabik,
Salam Bintu Tsaniyah
0 Comments:
Post a Comment