Kakak, saya dan adik, tiga perempuan yang hanya berjarak usia 2 tahunan.
Di suatu sore, saat masih sekolah dasar, kami (kakak, saya dan adik) sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan agak serius. Tentang masa depan.
Kakak saya adalah pemimpinnya, dia berusaha memetakan potensinya dan adik-adiknya saat besar nanti mau jadi apa.
Kesukaan kami membaca, dari majalah Bobo, karya RL Stine, karya Enid Blyton, komik sampai buku karya anak bangsa di perpustakaan sekolah, mungkin yang membuat kami punya pengetahuan soal jenis profesi.
Prinsip yang kami sepakati adalah bukan menjadi Guru, alasannya sederhana karena orang tua kami adalah guru dan banyak saudara mereka pun memiliki profesi sebagai guru.
Kami ingin berbeda.
Masih lupa detail pemetaan ala kakak saya. Kakak saya memilih bidang pertanian, dia suka pemandangan yang alami. Saya diberi kepercayaan di bidang teknik, alasannya hanya karena saya yang (pada masa itu) pendiam, kurang suka keluar rumah, seringnya jadi asisten bapak, yang kegiatannya seperti menguras bak mandi, membersihkan rumah, dan bangunan rumah.
Adik saya mendapat mandat soal kesehatan. Seingat saya, itu sisa dari bidang yang sudah diambil kakak dan saya.
Waktu berjalan, tanpa sangka pemetaan ala kakak saya akhirnya menjadi kenyataan. Selepas SMA kami berhasil masuk ke jalur yang dahulu pernah direncanakan.
Proses tidak selalu lurus dan mulus.
Kakak saya adalah yang paling banyak uji coba. Sebelum benar-benar sampai di jalur pertanian, dia mencoba sekolah agama dan jurusan kedokteran. Rasanya kakak saya juga ingin jadi dokter waktu itu. Ujian di tahun pertama gagal, dia menunggu. Tahun kedua akhirnya berhasil, masuk di jurusan pertanian, ilmu hama dan penyakit tanaman. Semacam dokter tapi untuk tanaman, kata kakak saya.
Saya, mungkin yang paling mulus. Doktrin soal teknik sangat kuat dalam diri saya, kelas 5 sekolah dasar pertama menemukan kosakata arsitektur, membayangkan seseorang memakai helm proyek dengan gagahnya di antara konstruksi bangunan. Hanya bayangan itu saja, tanpa kelebihan apapun di bidang menggambar. Sebelumnya tidak terlalu kuat keinginan untuk mengambil jurusan arsitektur untuk kuliah, tapi lagi-lagi kakak saya menjadi pendorongnya. Katanya, anak teknik keren loh, antara lain begitu rayuannya. Pilihan pertama saya dalam ujian masuk perguruan tinggi lolos, betul masuk arsitektur.
Adik saya lah yang paling terkonsep, entah apakah karena soal pemetaan kakak. Sejak Tsanawiyah kemudian lanjut Aliyah, dia masuk ekstrakurikuler di bidang kesehatan. Sepak terjangnya pun serius, tidak main-main. Dan kepercayaan dirinya membuat dia masuk ke akademi kebidanan, masih di jalur kesehatan.
Kami bertiga lulus di jalur yang belasan tahun sebelumnya telah dipetakan. Puji syukur kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Jalan kami mewujudkan mimpi tidak mudah. Tapi bermimpi itu tidak sulit, sangat gampang dan murah meriah. Yang penting berusaha, dan milikilah doa orang tua.
Dahulu saya tahu hanya berusaha, tapi sekarang (setelah hidup berkeluarga) saya tahu doa orangtua juga lah pelicin usaha kami.
Selanjutnya pemetaan itu ternyata hanya sampai sebagai bekal pencapaian kami sebelum hidup mandiri dan berkeluarga.
Mimpi masa lalu mulai diganti dengan cita-cita yang baru dengan orang baru, penanggung jawab kami selepas dari orang tua.
Tapi semangat masa lalu meraih mimpi masih terus berlanjut, bekal kehidupan juga sudah bertambah, selayaknya cita-cita pun harus semakin tinggi ke depannya…
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
0 Comments:
Post a Comment